Dinding itu terlalu kokoh
Egoisme terpupuk dominan
Bahkan perlakuan itu pun terlampau keras

Satu jiwa yang kau kasihi seketika roboh
Terpecah membentuk pembenarannya sendiri
Satu kepala saja tak cukup mudah untuk ditentang
Dan kini beberapa pasang mata makin menghardik pilihan
yang bukan hak mereka untuk menentang

Ketika lelah dan menyerah adalah pilihan yang menggiurkan
Jiwa itu tak serta merta bermetamorfosa
menjadi seonggok daging hidup yang tak berasa

Liku realita itu menguatkannya berdiri
Menopang apapun yang tak lagi bersinergi
Jiwa yang kini termarjinalkan
Merangkaklah leluasa menembus kebebasan
Dari belenggu tradisi sarat logika.

anka.
Berungkali merasa jatuh
Berulangkali pula merasakan kecewa
Apa ini takdir manusia ?

Mudah memuja paras dan pekerti
Tapi sulit melabuhkan hati bahkan memiliki

Berulangkali rasa kagum ini terpatahkan
Berulangkali pula rindu yang terdesak
tapi tak mampu terucapkan

Sampai kapan manusia menunggu
Untuk mendapatkan cintanya secara wajar
Seperti manusia lainnya
yang menaruh hati lantas terbalaskan

Untukmu,
Manusia di ujung pengharapan
Meski selalu mengeluh dan berpeluh

Akan setia menunggu
kewajaran itu tiba
Dan berpihak kepadanya.

anka.

Sepuluh

Nggak terasa udah mau memasuki penghujung tahun 2017 aja nih. Kurang dari dua bulan lagi udah mendekati 24 taun aja. Bumi benar-benar berotasi dengan cepat...
Meski udah masuk November, saya mau sedikit berbagi kebahagiaan yang ada di bulan kesepuluh kemarin.




Oktober, 2017. Banyak hal baik terjadi di bulan itu. Bulan kesepuluh. Sepuluh yang juga dinilai sebagai angka yang sempurna dalam sebuah skala hitungan. Kurang lebih seperti itulah perasaannya. Sempurna. Menutup akhir taun 2017 dengan kesempatan mewujudkan salah satu cita-cita orangtua. Melihat putrinya mengenakan toga dan mendengar namanya dipanggil ke atas panggung untuk menyaksikan simbolisasi penyematan gelar prestisius yang diseleseikan kurun waktu 4 taun 9 bulan. Benar-benar nyaris mencapai 5 hehe...

Prosesi wisuda ini juga menandai fase di mana tanggungjawab orangtua secara finansial untuk mencukupi pendidikan bagi anaknya sudah selesei. 
Terimakasih atas dedikasi dan kerelaannya menyisihkan sebagian anggaran dasar rumah tangga selama 5 taun ini untuk membiayai 'kid jaman now' ini duduk di bangku kuliah. Alhamdulillah...
Akhirnya saya wisuda seperti teman-teman lainnya.

Senang bisa berkumpul dengan hadirnya orangtua yang lengkap. Bapak yang dengan gentar menerobos perjalanan dari hutan Kalimantan untuk sekedar menyaksikan anak terakhirnya mendapat gelar sarjana di belakang nama panjangnya. 
Selain itu, kehebohan teman-teman yang datang tanpa  menyurutkan niatnya meski hari di mana saya wisuda diguyur hujan yang sangat deras. Bergulir doa, ucapan, dan hadiah yang tiada henti. Bahagia sekali, ternyata saya punya banyak teman, meski cuma itu-itu saja hehe....
Tapi setidaknya mereka bisa membuat saya merasa dicintai dengan berada di sekeliling mereka. 

Hal baik lain yang sama halnya membuat saya bahagia adalah saya bisa menyeleseikan misi studi ini bersama dengan salah satu patner terbaik saya sejak pertama kali menjalani masa perkuliahan, Izzarine Nurdiaz Pramudita, S.Ikom dengan sangat mengagumkan. Menutup usia studi S1 ini dengan predikat cumlaude. Cukup banyak drama pertentangan untuk mencapai titik dan situasi ini. Tapi untungnya kami cukup tangguh melewatinya dan pada akhirnya berhasil melemparkan toga. 
Selamat!❤


Juni Andalan Gue!


WOHOOO!
Akhirnya, sukses juga ngelaksanain pendadaran dan sangat bahagia dinyatakan lulus dengan nilai yang cukup kerenlah buat dibanggain di depan teman-teman dan sanak saudara :))
Tepatnya tanggal 14 Juni lalu, saya berjuang mempertanggungjawabkan pemikiran yang telah menguras banyak tenaga, uang, dan waktu selama setahun ini. Mungkin ini pula salah satu berkah yang dikasih Tuhan buat saya di sela-sela bulan Ramadhan untuk mempercepat kelulusan saya dan membantu orangtua saya supaya dapat bernafas dengan lega. Terutama siklus pernafasan dompetnya.

Berkah Ramadhan....
Alhamdulillah sangat bahagia bisa menuntaskan wajib belajar 19 taun yang telah dicanangkan oleh orangtua saya. Puas menghabiskan 1.5 jam di dalam ruang sidang dengan kehadiran beberapa teman yang setia untuk menemani dan siap menghujat di kala saya melakukan kesalahan hehe...

Kebayang deg-degannya gimana, yang ada di kepala cuma wajahnya mama doang. Karena gimanapun mama adalah salah satu orang yang selalu support dan menekan bagaimana pun kondisinya. Doa restu dan pelukan mama adalah hal termagis yang membuat saya bisa tenang dan melalui sidang pendadaran dengan lancar dan percaya diri.
Dan, pada akhirnya title bergengsi ini berhasil saya tambahkan di belakang nama saya. Meski belum officially karena revisi dan wisuda masih tak kunjung terlaksana tapi setidaknya bereuforia tidaklah haram hukumnya.

Terlebih bahagia lagi karena salah satu sahabat seperjuangan saya sejak semester satu perkuliahan, di hari dan jam yang sama dapat lulus juga dengan nilai yang memuaskan. Selamat Ben! Yeah, tuntas juga kita akhirnya. Lumayanlah lima tahun dengan pengalaman yang cukup berliku dan signifikan selama masa perkuliahan. Suer! nggak bakalan terlupakan setiap momennya. Ngerasa puas bisa belajar dan berkembang bersama dengan temen-temen jurnalistik lainnya hingga bisa sampe di titik ini dan dinyatakan lulus. Bukannya mau berpuas diri karena udah lulus terus tantangan berenti di situ aja. Saya paham bahwa titik ini adalah permulaan untuk menatap tantangan hidup yang sebenarnya. Tapi rasa ini adalah bentuk apresiasi bagi diri saya terhadap apa yang telah saya lalui dan kerjakan selama 10 semester ini. Selepas dari tanggung jawab revisi dan wisuda terseleseikan, semoga cita-cita saya untuk mendapatkan pekerjaan pun bisa segera terwujudkan. Aaamiiin!


Selamat! Jakarta Punya Pemimpin Baru

Sejak pagi tadi, saya sudah repot mantengin linimasa sosial media untuk memantau jalannya proses pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Bahkan sampai saat ini. Jogja diguyur hujan. Jakarta pun demikian. Rasanya, semesta pun ikut bersedih dan mengamini ketidakpuasan para simpatisan Bapak Ahok-Djarot yang dikenal dengan sebutan TemanAhok untuk tunduk pada pemilu putaran kedua kali ini.

Sebenarnya, saya tidak terlalu ambil pusing dengan hasil pilkada 2017 yang dimenangkan oleh Bapak Anies-Sandi dengan perolehan presentase yang cukup signifikan dibanding petahana, Bapak Ahok-Djarot. Tapi, namanya saja netizen yang budiman. Jadi, rasanya belum afdol kalo belum ikut mengomentari apa yang sedang terjadi di Ibukota Indonesia. Hehe..

Kemenangan Bapak Anies-Sandi bagi saya bukan hal yang mengejutkan. Karena, apa yang telah dilakukan mereka dengan tim pemenangan beserta simpatisan sudah cukup menyita perhatian saya sejak awal mereka mengumumkan sebagai pasangan penantang. Sentimen negatif dan isu SARA ibarat menjadi modal jualan politik yang tak ada habisnya diperdebatkan selama beberapa bulan masa kampanye. Dan, tentu saja hal tersebut begitu terasa dengan hasil yang di dapat saat ini. Belum lagi, siapa saja pesohor politikus yang terlibat  di balik kekuatan tim mereka.

Mungkin ini adalah jawaban bagi Bapak Anies-Sandi untuk bisa membuktikan dan merealisasikan bagaimana wacana serta program-program unggulannya membenahi Jakarta dengan menggunakan pendekatan yang lebih 'humanis' (katanya) demi kesejahteraan warga Jakarta. Tapi kalo boleh beropini sih, Jakarta itu luas. Jakarta itu keras. Jakarta itu rumit, Di tambah jika pemimpinnya hanya sibuk berdialektika tanpa ada pencapaian untuk membuat perubahan. Mungkin mulai hari ini, Bapak Anies-Sandi sudah harus menyingsingkan lengan pakaian untuk lebih bekerja keras melayani kebutuhan masyarakat Jakarta. Dan, tentunya bersinergi dengan pencapaian program kerja, baik yang telah, akan, dan belum dituntaskan oleh Bapak Ahok-Djarot.

Kalo boleh jujur, belum ada keoptimisan dari saya untuk melihat Jakarta setelah Bapak Ahok-Djarot meninggalkan kursi balaikota. Jangankan saya yang di daerah, yang nggak ada hubungannya. Apalagi masyarakat Jakarta yang meletakkan amanah dan kepercayaannya pada Bapak Ahok-Djarot sebagai pelayan publik selama lima tahun. Pasti sedih. Pasti bakalan susah move on juga. Dan, saya pun bisa merasakan itu. Mungkin ini yang dirasakan warga Amerika ketika Hillary Clinton gagal terpilih menjadi presiden mereka. Tapi apapun itu, demokrasi tetap harus dijunjung tinggi. Bersikap sportif dengan hasil yang diperoleh. Dan, alangkah bijaknya jika mulai menanggalkan atribut masing-masing pendukung dan bersama membenahi dan merawat ibukota ke arah yang lebih baik lagi.

Untuk Bapak Ahok-Djarot, saya adalah salah satu penggemar bapak dari Jogja. Terlepas bagaimana karakter Bapak Ahok yang banyak mendapat protes maupun kecaman keras. Saya tetap mendukung bapak untuk menuntaskan kewajiban sebagai gubernur hingga masa jabatan berakhir. Saya yakin bapak sudah legowo dan berusaha berbuat yang lebih baik lagi hingga Oktober 2017 mendatang. Jangan bersedih Pak. Tetap semangat. Tenaga serta pemikiran Bapak masih banyak dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia meski tak lagi memimpin Ibukota. Selamat bekerja Pak, tuntaskan segalanya, dan tersenyumlah lebar untuk masyarakat Jakarta.



It's Your G-Day, My Fellows!

Masih belum bisa lepas dari perayaan wisuda temen-temen sejawat pekan lalu. Meski bukan hari besar saya, tapi saya cukup senang dan bahagia bisa terlibat dan berada di antara mereka. Merayakan hari jadi penuntasan wajib belajar yang telah ditetapkan oleh orangtua masing-masing. Yeah! Now, you're officially bachelor and so damn cool friends!








Siap Nggak Siap Sih...

Jadi seperti ini rasanya. Memiliki rasa takut yang masih abu-abu.
Terdengar aneh, memang, karena ini terasa sekali. 
Bahkan, hingga nanti saat saya mulai kembali membaca tulisan ini lagi.

Ketakutan saya semakin menjadi-jadi.
Jika saja ada cara untuk menghilangkan rasa takut ini dengan berteriak. 
Maka itu adalah pilihan yang akan saya ambil. Saya akan berteriak bahwa saya takut.

Saya takut.
Terlebih, ketika kewajiban saya sebagai seorang mahasiswa akan menyentuh babak akhir.
Itu juga menandakan bahwa saya harus siap untuk menjalani realita hidup sebagai individu yang mulai menanggung beban dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. 
Bukan lagi orangtua.
Saya takut.
Ketika bangun tidur dan membuka mata mendapati diri saya bukan seorang mahasiswa lagi. Melainkan salah satu dari ribuan 'sarjana nganggur' yang memperebutkan status pekerjaan.
Memang saya tipikal realistis tapi tak jarang saya juga takut pada realita. 
Lucu memang. Tapi tak apalah. Toh, manusia juga memiliki haknya untuk menertawakan dirinya sendiri.

Ketakutan akan title fresh graduate menjadi semakin terasa jika tidak diimbangi dengan skill bersaing yang mumpuni untuk berebut kursi dalam sebuah organisasi korporat. Kecuali, saya memiliki modal dan cukup inovasi untuk melakukan sesuatu dan memutuskan membuka lapangan pekerjaan sendiri. Bahkan untuk teman-teman saya.  
Beradu mental, ide, skill, pengalaman, dan keberuntungan menjadi titik kematangan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang (bagi mereka) dikatakan layak dan mumpuni.

Mungkin, ini yang menjadi alibi saya selama menjalani dua semester ini untuk menunda menuntaskan skripsi. 
Ketakutan ini membawa saya pada kemalasan. Ketakutan yang wajar tapi tak seharusnya dilakukan.
Saya terlampau sibuk meraba apa yang belum tentu terjadi. 
Saya terlalu fasih melontarkan pengandaian negatif pada diri saya sendiri.
Saya terlena pada mimpi tanpa mau tau bagaimana mewujudkannya.
Saya hanya tidak mau berakhir sebagai pecundang dengan gelar prestisius tanpa bekerja, berkarya, dan menghasilkan. 
Saya harus berusaha. 

Berdasarkan pengalaman, menguatkan orang untuk tidak takut itu mudah. Tapi paradoks, ketika mengetahui diri saya pun (masih) penakut.
Saya menyadari itu dan tidak malu mengungkapkannya. Karena mungkin dengan cara seperti ini, saya bisa lebih tau siapa diri saya dan berlatih untuk menenangkan ketakutan saya dengan cara berjuang. Berjuang hingga batas akhir kemampuan saya. Dan, saya sepakat dengan itu.


Segelas Air Dingin yang Melegakan

Tawamu penawar ampuh sembuhkan luka
Kelakarmu buatku melepas gelak tanpa tata
Erat pelukmu senjata menyeka lara
kapan dan di manapun aku berada
meski terkadang kau serumit aritmatika
tapi engkau anugerah yang senantiasa sejukkan jiwa

anka.

(Lagi-lagi) Jadi Penggembira


Dalam seminggu ini, berturut-turut kembali memeriahkan sidang pendadaran teman satu angkatan. Tidak terlalu spesial karena lagi-lagi saya hanya menjadi penggembira di antara teman-teman yang dengan susah payah telah berhasil menyabet gelar prestisius di belakang nama mereka. 
Senang sekaligus sedih. Beberapa teman yang juga menjadi sahabat satu-persatu mengambil pilihan untuk lebih dulu menapaki fase lanjutan dari sebuah gelar sarjana. Fase yang lebih serius tentunya yaitu mencari kerja atau malah menjadi beban keluarga. Pilihan yang kurang bersahabat memang,tapi mutlak untuk dijalani kalo tidak mau berakhir dengan stigma 'pengangguran' oleh society. Ya, seringnya mulut society lebih mengiris hati dibanding perkataan Ibu pada saat membangunkan pagi untuk kuliah atau memeberikan pertanyaan sakral "kapan kuliahmu rampung?" 
Untuk itulah rekan-rekanku, selamat menjalani hari-hari tanpa status mahasiswa dan lekaslah berbenah menjadi harapan bagi keluarga. Cheers!


Fauzan Thoriq Perdana Kusuma, S.Ikom
Cindy Chintya Eprilianti, S.Ikom

by. teman penggembira pendadaran 
Sepi itu indah ?
Terkadang...
Tapi entah mengapa
Aku lebih suka keramaian

Bukan tentang hingar bingar
atau hiruk pikuk manusia
Ramai pun bisa tercipta
Meski hanya dengan aku dan kamu
yang lantas menjadi 'kita'

Degup jantung ini 
tak terdengar sempurna
Terlebih ketika saling bertukar
arah pandangan mata

Di antara diam dan tatapan muka
Aku pun berdoa
Seraya memejamkan mata
Memuja kekaguman yang hinggap
menghiasi pemandangan indera

Apa mungkin ini pertanda cinta ?
Entahlah...
Tapi satu hal yang kuyakini
Jatuh cinta itu anugerah
Meski tak selalu mudah. 

anka.