Selamat! Jakarta Punya Pemimpin Baru

Sejak pagi tadi, saya sudah repot mantengin linimasa sosial media untuk memantau jalannya proses pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Bahkan sampai saat ini. Jogja diguyur hujan. Jakarta pun demikian. Rasanya, semesta pun ikut bersedih dan mengamini ketidakpuasan para simpatisan Bapak Ahok-Djarot yang dikenal dengan sebutan TemanAhok untuk tunduk pada pemilu putaran kedua kali ini.

Sebenarnya, saya tidak terlalu ambil pusing dengan hasil pilkada 2017 yang dimenangkan oleh Bapak Anies-Sandi dengan perolehan presentase yang cukup signifikan dibanding petahana, Bapak Ahok-Djarot. Tapi, namanya saja netizen yang budiman. Jadi, rasanya belum afdol kalo belum ikut mengomentari apa yang sedang terjadi di Ibukota Indonesia. Hehe..

Kemenangan Bapak Anies-Sandi bagi saya bukan hal yang mengejutkan. Karena, apa yang telah dilakukan mereka dengan tim pemenangan beserta simpatisan sudah cukup menyita perhatian saya sejak awal mereka mengumumkan sebagai pasangan penantang. Sentimen negatif dan isu SARA ibarat menjadi modal jualan politik yang tak ada habisnya diperdebatkan selama beberapa bulan masa kampanye. Dan, tentu saja hal tersebut begitu terasa dengan hasil yang di dapat saat ini. Belum lagi, siapa saja pesohor politikus yang terlibat  di balik kekuatan tim mereka.

Mungkin ini adalah jawaban bagi Bapak Anies-Sandi untuk bisa membuktikan dan merealisasikan bagaimana wacana serta program-program unggulannya membenahi Jakarta dengan menggunakan pendekatan yang lebih 'humanis' (katanya) demi kesejahteraan warga Jakarta. Tapi kalo boleh beropini sih, Jakarta itu luas. Jakarta itu keras. Jakarta itu rumit, Di tambah jika pemimpinnya hanya sibuk berdialektika tanpa ada pencapaian untuk membuat perubahan. Mungkin mulai hari ini, Bapak Anies-Sandi sudah harus menyingsingkan lengan pakaian untuk lebih bekerja keras melayani kebutuhan masyarakat Jakarta. Dan, tentunya bersinergi dengan pencapaian program kerja, baik yang telah, akan, dan belum dituntaskan oleh Bapak Ahok-Djarot.

Kalo boleh jujur, belum ada keoptimisan dari saya untuk melihat Jakarta setelah Bapak Ahok-Djarot meninggalkan kursi balaikota. Jangankan saya yang di daerah, yang nggak ada hubungannya. Apalagi masyarakat Jakarta yang meletakkan amanah dan kepercayaannya pada Bapak Ahok-Djarot sebagai pelayan publik selama lima tahun. Pasti sedih. Pasti bakalan susah move on juga. Dan, saya pun bisa merasakan itu. Mungkin ini yang dirasakan warga Amerika ketika Hillary Clinton gagal terpilih menjadi presiden mereka. Tapi apapun itu, demokrasi tetap harus dijunjung tinggi. Bersikap sportif dengan hasil yang diperoleh. Dan, alangkah bijaknya jika mulai menanggalkan atribut masing-masing pendukung dan bersama membenahi dan merawat ibukota ke arah yang lebih baik lagi.

Untuk Bapak Ahok-Djarot, saya adalah salah satu penggemar bapak dari Jogja. Terlepas bagaimana karakter Bapak Ahok yang banyak mendapat protes maupun kecaman keras. Saya tetap mendukung bapak untuk menuntaskan kewajiban sebagai gubernur hingga masa jabatan berakhir. Saya yakin bapak sudah legowo dan berusaha berbuat yang lebih baik lagi hingga Oktober 2017 mendatang. Jangan bersedih Pak. Tetap semangat. Tenaga serta pemikiran Bapak masih banyak dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia meski tak lagi memimpin Ibukota. Selamat bekerja Pak, tuntaskan segalanya, dan tersenyumlah lebar untuk masyarakat Jakarta.



It's Your G-Day, My Fellows!

Masih belum bisa lepas dari perayaan wisuda temen-temen sejawat pekan lalu. Meski bukan hari besar saya, tapi saya cukup senang dan bahagia bisa terlibat dan berada di antara mereka. Merayakan hari jadi penuntasan wajib belajar yang telah ditetapkan oleh orangtua masing-masing. Yeah! Now, you're officially bachelor and so damn cool friends!








Siap Nggak Siap Sih...

Jadi seperti ini rasanya. Memiliki rasa takut yang masih abu-abu.
Terdengar aneh, memang, karena ini terasa sekali. 
Bahkan, hingga nanti saat saya mulai kembali membaca tulisan ini lagi.

Ketakutan saya semakin menjadi-jadi.
Jika saja ada cara untuk menghilangkan rasa takut ini dengan berteriak. 
Maka itu adalah pilihan yang akan saya ambil. Saya akan berteriak bahwa saya takut.

Saya takut.
Terlebih, ketika kewajiban saya sebagai seorang mahasiswa akan menyentuh babak akhir.
Itu juga menandakan bahwa saya harus siap untuk menjalani realita hidup sebagai individu yang mulai menanggung beban dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. 
Bukan lagi orangtua.
Saya takut.
Ketika bangun tidur dan membuka mata mendapati diri saya bukan seorang mahasiswa lagi. Melainkan salah satu dari ribuan 'sarjana nganggur' yang memperebutkan status pekerjaan.
Memang saya tipikal realistis tapi tak jarang saya juga takut pada realita. 
Lucu memang. Tapi tak apalah. Toh, manusia juga memiliki haknya untuk menertawakan dirinya sendiri.

Ketakutan akan title fresh graduate menjadi semakin terasa jika tidak diimbangi dengan skill bersaing yang mumpuni untuk berebut kursi dalam sebuah organisasi korporat. Kecuali, saya memiliki modal dan cukup inovasi untuk melakukan sesuatu dan memutuskan membuka lapangan pekerjaan sendiri. Bahkan untuk teman-teman saya.  
Beradu mental, ide, skill, pengalaman, dan keberuntungan menjadi titik kematangan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang (bagi mereka) dikatakan layak dan mumpuni.

Mungkin, ini yang menjadi alibi saya selama menjalani dua semester ini untuk menunda menuntaskan skripsi. 
Ketakutan ini membawa saya pada kemalasan. Ketakutan yang wajar tapi tak seharusnya dilakukan.
Saya terlampau sibuk meraba apa yang belum tentu terjadi. 
Saya terlalu fasih melontarkan pengandaian negatif pada diri saya sendiri.
Saya terlena pada mimpi tanpa mau tau bagaimana mewujudkannya.
Saya hanya tidak mau berakhir sebagai pecundang dengan gelar prestisius tanpa bekerja, berkarya, dan menghasilkan. 
Saya harus berusaha. 

Berdasarkan pengalaman, menguatkan orang untuk tidak takut itu mudah. Tapi paradoks, ketika mengetahui diri saya pun (masih) penakut.
Saya menyadari itu dan tidak malu mengungkapkannya. Karena mungkin dengan cara seperti ini, saya bisa lebih tau siapa diri saya dan berlatih untuk menenangkan ketakutan saya dengan cara berjuang. Berjuang hingga batas akhir kemampuan saya. Dan, saya sepakat dengan itu.