Siap Nggak Siap Sih...

Jadi seperti ini rasanya. Memiliki rasa takut yang masih abu-abu.
Terdengar aneh, memang, karena ini terasa sekali. 
Bahkan, hingga nanti saat saya mulai kembali membaca tulisan ini lagi.

Ketakutan saya semakin menjadi-jadi.
Jika saja ada cara untuk menghilangkan rasa takut ini dengan berteriak. 
Maka itu adalah pilihan yang akan saya ambil. Saya akan berteriak bahwa saya takut.

Saya takut.
Terlebih, ketika kewajiban saya sebagai seorang mahasiswa akan menyentuh babak akhir.
Itu juga menandakan bahwa saya harus siap untuk menjalani realita hidup sebagai individu yang mulai menanggung beban dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. 
Bukan lagi orangtua.
Saya takut.
Ketika bangun tidur dan membuka mata mendapati diri saya bukan seorang mahasiswa lagi. Melainkan salah satu dari ribuan 'sarjana nganggur' yang memperebutkan status pekerjaan.
Memang saya tipikal realistis tapi tak jarang saya juga takut pada realita. 
Lucu memang. Tapi tak apalah. Toh, manusia juga memiliki haknya untuk menertawakan dirinya sendiri.

Ketakutan akan title fresh graduate menjadi semakin terasa jika tidak diimbangi dengan skill bersaing yang mumpuni untuk berebut kursi dalam sebuah organisasi korporat. Kecuali, saya memiliki modal dan cukup inovasi untuk melakukan sesuatu dan memutuskan membuka lapangan pekerjaan sendiri. Bahkan untuk teman-teman saya.  
Beradu mental, ide, skill, pengalaman, dan keberuntungan menjadi titik kematangan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang (bagi mereka) dikatakan layak dan mumpuni.

Mungkin, ini yang menjadi alibi saya selama menjalani dua semester ini untuk menunda menuntaskan skripsi. 
Ketakutan ini membawa saya pada kemalasan. Ketakutan yang wajar tapi tak seharusnya dilakukan.
Saya terlampau sibuk meraba apa yang belum tentu terjadi. 
Saya terlalu fasih melontarkan pengandaian negatif pada diri saya sendiri.
Saya terlena pada mimpi tanpa mau tau bagaimana mewujudkannya.
Saya hanya tidak mau berakhir sebagai pecundang dengan gelar prestisius tanpa bekerja, berkarya, dan menghasilkan. 
Saya harus berusaha. 

Berdasarkan pengalaman, menguatkan orang untuk tidak takut itu mudah. Tapi paradoks, ketika mengetahui diri saya pun (masih) penakut.
Saya menyadari itu dan tidak malu mengungkapkannya. Karena mungkin dengan cara seperti ini, saya bisa lebih tau siapa diri saya dan berlatih untuk menenangkan ketakutan saya dengan cara berjuang. Berjuang hingga batas akhir kemampuan saya. Dan, saya sepakat dengan itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar